MAKALAH TENTANG WARISAN
diposkan oleh PEMULA di 19.59
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ................................................................................ 1
B.
Rumusan masalah............................................................................. 2
C.
Tujuan penulisan............................................................................... 2
D.
Mamfaat........................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian wasiat............................................................................ 3
B.
Batas
Wasiat................................................................................... 6
1.
Sunni......................................................................................... 7
2.
Syiah......................................................................................... 8
3.
Kompilasi
hukum islam Indonesia ( KHI )............................... 9
4.
KUH Wasiat
Mesir................................................................. 12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................ 14
B. Saran...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Wasiat adalah
amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat dan
berwasiat dalam keadaan sedang sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal.Wasiat
dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada
orang yang diberi wasiat.Oleh karena itu, tidak semua wasiat berbentuk
harta.[1]
Adapula wasiat
yang berkaitan dengan hak kekuasaan yang akan dijalankan sesudah ia meninggal
dunia, misalnya seorang berwasiat kepada orang lain supaya mendidik anaknya
kelak, membayar utangnya , atau mengembalikan barang pinjamannya sesudah si
pemberi wasiat itu meninggal dunia.
Hak kekuasaan
yang diserahkan hendaklah berupa harta, hak kekuasaan yang bukan berupa harta
tidak sah diwasiatkan. Misalnya menikahkan anak perempuannya karena kekuasaan
walisetelah ia meninggal dunia berpindah kepada wali yang lain menurut susunan
wali yang sudah di tentukan. [2]
Demi
terjaminnya wasiat dikemudian hari, orang yang berwasiat hendaknya menjadikan
sebagai saksi sekurang-kurangnya dua orang yang adil. Wasiat sah bila dilakukan
oleh seorang mukallaf yang merdeka atas kehendak sendiri. Tidak sah wasiat
dilakukan anak kecil , orang gila dan budak sekalipun statusnya makatab tanpa
seizing dari tuannya, dan tidak sah pula dilakukan oleh orang yang dipaksa.
Wasiat termasuk
perjanjian yang diperbolehkan, yang di dalamnya pemberi wasiat boleh mengubah
wasiatnya, atau menarik kembali apa yang dia kehendaki dari wasiatnya, atau
menarik kembali apa yang akan diwasiatkan. Penarikan kembali atau yang dikenal
dengan istilah ruju’ dapat berupa ucapan atau perbuatan misalnya dengan menjual
objeknya.[1]
[2]Apabila dilihat dari pandangan ilmu hukum, bahwa wasiat merupakan perbuatan
hukum sepihak ( merupakan pernyataan sepihak ), jadi dapat saja wasiat
dilakukan tanpa dihadiri oleh penerima wasiat, dan bahkan dapat saja dilakukan
dalam bentuk tertulis.[4]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan wasiat dan bagaiamana hukumnya menurut para ulama ?
2.
Berapakah
jumlah maksimal harta yang boleh diwasiatkan ?
C.
Tujuan penulisan
Tujuan
dari penulisan ini adalah untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan wasiat dan
bagaimana hukumnya menurut para ulama dan juga untuk mengetahui berapakah
jumlah maksimal harta yang boleh diwasiatkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian wasiat
Wasiat
menurut bahasa artinya menyambungkan, berasal dari kata washasy syai-a
bikadzaa, artinya “ dia menyambungkan’’. Dikatakan demikian karena seorang yang
berwasiat berarti menyambungkan kebaikan dunianya dengan kebaikan akhirat.
Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang
meningga dunia. [5]
Menurut
syara’, wasiat adalah mendermakan suatu hak yang pelaksanaannya dikaitkan
sesudah orang yang bersangkutan meninggal dunia.
Wasiat adalah
pemberian secara penuh kesadaran akan haknya terhadap harta miliknya yang akan
diperoleh orang yang menerimanya setelah terjadinya kematian si pemberi wasiat.
Pendapat
lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati
kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksanakan para
penerima wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan lain diluar harta
peninggalan.[6]
Hukum
wasiat berdasarkan kesepakatan ( ijma’) adalah sunnat muakkad. Menurut
Zainuddin Abdul Aziz, jika sedekah dilakukan waktu orang yang bersangkutan
dalam keadaan sehat, lalu dia sakit, hal itu jauh lebih utama..sesudah Allah
menerangkan beberapa ketentuan dalam pembagia harta warisan, diterangkan pula
bahwa pembagian harta warisan tersebut
hendaklah dijalankan setelah melaksanakan wasiat. Dasar hukum wasiat dalam
hukum kewarisan islam, yakni al-qur’an surah al-baqarah ayat 180 dan surah
Al-Maidah ayat 106.[7]
Al-[3]Maidah
ayat 106 :
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ شَهَٰدَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ
حِينَ ٱلْوَصِيَّةِ ٱثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ أَوْ ءَاخَرَانِ مِنْ
غَيْرِكُمْ إِنْ أَنتُمْ ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَأَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةُ
ٱلْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِنۢ بَعْدِ ٱلصَّلَوٰةِ فَيُقْسِمَانِ بِٱللَّهِ إِنِ
ٱرْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِى بِهِۦ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ وَلَا
نَكْتُمُ شَهَٰدَةَ ٱللَّهِ إِنَّآ إِذًا لَّمِنَ ٱلْءَاثِمِينَ
Terjemahnya :
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian,
sedang ia akan berwasiat maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang
yang adil diantara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika
kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu
tahan kedua saksi itu setelah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka
keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: “(demi Allah) kami
tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan
seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan
persaksian Allah. Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk
orang-orang yang berdosa.”
Wasiat
sah bila dilakukan oleh seorang mukallaf yang merdeka atas kehendak
sendiri.Tidak sah wasiat yang dilakukan anak kecil, orang gila dan budak,
sekalipun statusnya makatab tanpa seizing dari tuannya dan tidak sah pula bila
dilakukan oleh orang yang di paksa. Dalam masalah wasiat ini orang yang sdang
mabuk disamakan kedudukannya dengan orang mukallaf ( yakni sah wasiatnya ).
Wasiat
dapat ditujukan kepada siapa saja sesuai denga kehendak orang yang berwasiat,
bahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan pun hukumnya boleh.Hanya jika
bayi yang dilahirkan meninggal dunia, maka wasiatnya tidak dapt dilakukan. Agar
wasiat yang disampaikan oleh pemberi wasiat mudah diamalkan.Orang yang diberi
wasiat harus jelas namanya, ciri-cirinya bahkan temoat tinggalnya. Karena jika
orang yang dimaksudkan tidak jelas
identitasnya, pelaksanaan wasiat akan menemukan kesulitan unutk melaksanakan
wasiat yang bersangkutan. [8][4]
Jika
wasiat dilakukan untuk ahli waris dan melebihi sepertiga harta waris,
pelaksanannya harus mendapat persetujjuan dari ahli waris lainnya. Artinya,
wasiat tersebut dapat digugurkan jika ahli waris yang lain tidak menyetujuinya.
Jika wasiat menyangkut harta yang jumlahnya
melebihi sepertiga, karena ahli waris tidak menyetujuinya maka wasiat
yang dilaksanakan cukup yang sepertiganya saja. Jika yang menyetujui wasiat
lebih dari sepertiga itu hanya salah seorang dari ahli waris, wasiat dihukumo
sah untuk jumlah kelebihan yang sesuai dengan bagiannya.Jika seorang ahli waris
yang mempunyai hak tasharruf mutlak menyetujui wasiat lebih dari spertiga,
persetujuannya itu merupakan izin untuk melaksanakan wasiat lebih dari
sepertiga.
Mazhab
empat sepakat tentang pelarangan wasiat wasiat untuk ahli waris, kecuali jika
disetujui oleh para ahli waris lainnya. Mazhab imamiyahmengatakan , “wasiat
boleh diberikan untuk ahli waris maupun bukan ahli waris, dan tidak bergantung
pada persetujuan para ahli waris lainnya, sepanjang tidak melebihi sepertiga
harta warisan’’.
Para
ulama mazhab berselisih pendapat tentang sahnya wasiat seorang muslim untuk
seorang kafir harbi. Maliki, Hanbali dan mayoritas syafi’I mangatakan bahwa
wasiat seperti itu sah (kafir dzimmi adalah seorang yang membayar jizyah kepada
kaum muslimin, sedangkan kafir harbi’ adalah orang kafir yang harus
diperangi).Menurut mazhab imamiyah, kafir harbi adalah orang kafir yang tidak
membayai, meskipun tidak memerangi kaum muslimin.
B.
Batasan Wasiat
Wasiat
harta tidak boleh melebihi sepertiga dari harta yang dimiliki.Mewasiatkan harta
melebihi sepertiga[5]nya
hukumnya makruh.Bahkan hukumnya haram jika wasiat yang lebih dari sepertiga tu
dimaksudkan untuk menghalangi bagian ahli warisnya.[9][6]
Para ulama
sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak boleh memberikan wasiat lebih
dari 1/3 hartanya. Hal itu sesuai dengan Hadits Rasulullah saw, yang artinya : Bahwa
suatu ketika Rasulullah saw dating mengunjungi saya (sa’ad bin Abi Waqas) pada
tahun haji wada’. Kemudian saya bertanya kepada Rasulullah saw; wahai
Rasulullah! Sakitku telah demikian parah, sebagaimana engkau lihat, sedang saya
ini orang yang berada, tetapi tidak ada yang dapat mewarisi hartaku selain
seorang anak perempuan.
Bolehkah aku
bersedekah (berwasiat) dengan dua pertiga hartaku (untuk beramal) ?maka berkatalah
Rasulullah saw. Kepadaku : “jangan’’ kemudian Rasulullah berkata pula,
“sepertiga” dan sepertiga itu banyak dean besar. Sesungguhnya apabila engkau
meninggalkan ahli warismu sebagai orang-orang kaya adalah lebih baik daripada
meninggalkan mereka sebagai orang-orang miskin yang meminta-minta kepada orang
banyak.(HR.Bukhari dan Muslim)[10]
Wasiat hanya
berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan, manakala terdapat ahli waris,
baik wasiat itu dikeluarkan ketika dalam keadaan sakit ataupun sehat.Adapun
jika melebihi sepertiga harta warisan, menurut kesepakatan seluruh mazhab,
dibutuhkan izin dari para ahli waris.Jika semua mengizinkan, wasiat itu
berlaku.Akan tetapi jika mereka menolak, wasiat itu batal. Jika sebagian dari
mereka mengizinkan, sedang sebagian lainnya tidak, kelebihan dari sepertiga itu
dikeluarkan dari harta yang mnegizinkan, dan izin dari seorang ahli waris baru
berlaku jika ia berakal sehat, baligh dan rasyid.
Mazhab imamiyah
mengatakan bahwa jika para ahli waris telah
memberi izin, mereka tidak berhak menarik kembali izin mereka, baik izin
itu diberikan saat pemberi wasiat masih hidup atau sesudah meninggal.
Mazhab hanafi,
syafi’I dan hanbali mengatakan bahwa penolakan ataupun izin hanya berlaku
sesudah meninggalnya pemberi wasiat.Jika mereka memberi izin ketika dia masih
hidup, kemudian berbalik pikiran dan menolak melakukannya setelah pemberi
wasiat meninggal, mereka berhak melakukan itu baik izin itu mereka berikan
ketika pemberi wasiat berada dalam keadaan sehat ataupun ketika sakit.
Mazhab maliki
mengatakan bahwa jika mereka mengizin kanketika pemberi wasiat berada dalam
keadaan sakit, mereka boleh menolak melakukannya. Akan tetapi, jika mereka
memberi izin ketika ia sehat, kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari hak
waris mereka, dan mereka tidak boleh menolak.
Mazhab
imamiyah, hanafi dan maliki mengatakan bahwa izin yang diberikan oleh ahli
waris bagi kelebihan dari sepertiga harta waris merupakan persetujuan atas
tindakan si pemberi wasiat, bukan sebagai hibah dari ahli waris kepada
sipemberi wasiat. Jadi, ia tidak memerlukan serah terima. Hukum-hukum hibah
tidak berlaku untuk wasiat.
Terdapat
perbedaan pendapat mengenai orang yang mewasiatkan seluruh hartanya, sedangkan
dia tidak mempunyai ahli waris. Imam malik mengatakan bahwa wasiat hanya boleh
maksimal sepertiga hartanya, sedangkan abu hanifah mengatkan bahwa boleh
seluruhnya. Imam syafi’I dan imam Ahmad mempunyai dua pendapat, sedangkan
mazhab imamiyah juga mempunyai dua pendapat, tetapi yang lebih sahih adalah
boleh.[11][7]
Beberapa
pendapat tentang jumlah harta yang diwasiatkan, yaitu :
1.
Sunni
Ulama faradiyun dikalangan sunni juga memberikan beberapa batasan
tentang jumlah harta yang diwasiatkan yakni tidak melebihi dari 1/3 dari harta
kecuali atas izin para ahli waris sebagaimana yang disepakati kelompok
syafi’iyah dan hanafiyah, dalam keadaan tersebut , jika wasiat besarnya separuh
harta, sedang para ahli waris tidak menyetujuinya, maka wasiat yang
dilaksanakan hanya sebatas 1/3 harta, sisanya dikembalikan kepada saldo harta
setelah dikurangi berbagai kewajiban seperti pelunasan utang, penyelenggaraan
jenazah atau kewajiban lainnya.
Batas paroan 1/3 harta menurut syafi’I dan abu hanifah adalah 1/3
dari seluruh harta mayit, tidak dari harta yang akan diwarisi setelah pelunasan
berbagai kewajiban seperti biaya penyelenggaraan jenazah dan lain-lain,
sebagaimana pendapat malik menghitungnya
dari harta waris. Perizinan ahli waris tentang 1/3 harta atau lebih
sesuai dengan izin mereka juga berlaku apabila wasiat ditujukan kepada ahli
waris itu sendiri, wasiat menjadi batal jika tidak disetujui ahli waris lain.
System perhitungan wasiat hanya dapat dimulai setelah pengurangan
harta mayit (tirkah:harta peninggalan) dari penunaian tahjiz, penyelenggaraan
jenazah, pelunasan utang dan penunaian wasiat. Wasiat dianggap sah apabila memenuhi ketentuan bagian (f) walaupun masih
berkemungkinan dianggap fasid seperti untuk motif kejahatan, wasiatnya sah
tetapi fasid, atau wasiatnya sah tetapi batil sebagiannya seperti melebihi 1/3
harta.
Pembunuhan yang sengaja atau yang dipersangkakan cenderung telah
melakukan kesalahan besar sehingga terjadi pembunuhan yang dilakukan olah si
penerima wasiat ( al mushilahu ) terhdapa si pewasiat ( al mushi ) berakibat
batalnya wasiat, walaupun ahli waris ingin melaksanakan wasiat, kecuali
pembunuhan tersebut terjadi karena keadaan yang luar biasa seperti tidak ada
maksud pembunuhan, tidak ada perencanaan pembunuhan dan atau bersengaja dengan
kesadaran dengan syarat disetujui oleh para ahli waris.
2.
Syiah
Pada umumnya
menyepakati pendapat kelompok sunni tetapi dengan sedikit perbedaan. Syiah
menetapkan bolehnya wasiat kepada ahli waris selama tidak melebihi bagian 1/3
harta walaupun tanpa persetujuan para ahli waris.Berbeda dengan sunni, menurut
syiah, wasiat bagi si penerima wasiat tetap berlaku walaupun telah
membunuh si pewasiat, baik dengan
sengaja atau tidak.
3.
Dr.Hazairin
Menetapkan keharusan wasiat dalam situasi khusus terhadap ahli
waris seperti ahli waris yang lebih memerlukan harta ( karena sakit parah,
biaya pendidikan dan lain sebagainya ) dimana selaian dia akan menerima harta
waris, ia juga dapat menerima wasiat sebesar tidak lebih dari 1/3 harta sebagai
tambahan bagi dirinya karena keperluannya lebih banyak.[12][8]
4.
Kompilasi
hukum islam Indonesia ( KHI )
Kompilasi hukum islam Indonesia khususnya dalam ketentuan yang
terdapat dalam Buku II Bab V pasal 194 dan 195 menyebutkan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pewasiatan
tersebut yaitu, a) pewasiat harus orang yang telah berumur 21 tahun, berakal
sehat dan didasarkan kepada kesukarelaannya. b) harta benda yang diwasiatkan
harus merupakan hak si pewasiat, c) peralihan hak terhadap barang/benda yang
diwasiatkan adalah setelah si pewasiat meninggal dunia.[13]
KHI umumnya mengambil pendapat sunni, hanya saja dengan sedikit
perbedaan dan perluasan penambahan. Batalnya wasiat, sesuai dengan putusan
Hakim bahwa si penerima wasiat : a) dipersalahkna membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat, b) dipersalahakan seccara
memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan
yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau atau hukuman yang lebih
berat, c) dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk
membuat atau mencabut mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat,
d) dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat
dari pewasiat (pasal 197).
Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup maka penyimpanannya
ditempat notaris yang membuatnya atau ditempat lain (pasal 203) kemudian
tentang wasiat yang harus dibuka dihadapan notaris (pasal 204), dalam keadaan
perang seseorang dapat berwasiat dihadapan komandan dan dua saksi (pasal 205)
sebagaimana mereka yang melewati perjalanan laut dihadapan nahkoda atau mualim
kapal atau penggantinya dihadapan dua saksi (pasal 206) dan wasiat tidak
diperbolahkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan atau kepada orang
yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu
ia menderita sakit hingga meninggalnya
kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasanya (pasal 207)
wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut (pasal
208)
Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176-193
sedang orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
maksimal 1/3 dari harta warisan anak angkatnya, dan terhadap anak angkat yang
tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah maksimal 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya (pasal 209).[14][9]
5.
KUH
Perdata (BW)
Jika pengertian wasiat dalam KUH Perdata tersebut dibandingkan
dengan pengertian wasiat dalam hukum kewarisan islam, ada perbedaan yang sangat
mencolok. Dalam hukum kewarisan islam, tidak dikenal konsep penunjukan atau
pengangkatan ahli waris ( erfstelling ). Yang ada hanya pemberian dari
seseorang kepada orang lain yang berlaku apabila yang memberikan meninggal
dunia. “pemberian’’ dalam keadaan khusus seperti ini dikenal dengan nama
wasiat. Pranata seperti ini adalam hukum kewarisan KUHPerdata dinamakan dengan
hibah wasiat atau lazim disebut legaat.[15]
Mengenai wasiat di atur dalam pasal 874-1022. (pasal 874) segala
harta peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli
warisnya menurut undang-undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak
telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah. (pasal 875) adapun yang dinamakan
surat wasiat atau testamen adalah suatu akta yang memuat pernyataan seorang
tentang appa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang
olehnya dapat dicabut kembali lagi. (pasal 876) segala ketetapan dengan surat
wasiat mengenai harta peninggalan adalah untuk diambil secara umum atau dengan
alas hak umum, atau pula dengan alas hak khusus.
Tiap-tiap ketetapan yang demikian baik diambil kiranya dengan nama
hibah wasiat atau dengan nama-nama lain bagaimanapun juga, harus tunduk pada
peraturan termuat dalam bab ini. (pasal 877) suatu ketetapan wasiat untuk para
keluarga sedarah yang terdekat, atau untuk darah terdekat dari si meninggal,
tanpa penjelasan lebih lanjut, harus dianggap telah diambil untuk keuntungan
para ahli waris menurut undang-undang. (pasal 878) suatu ketetapan wasiat untuk
para miskin tanpa penegasan lebih lanjut, harus dianggap telah diambil demi
kebahagiaan sekalian penderita sengsara, dengan tak memandang agama, yang
diselenggarakan oleh lembaga-lembaga miskin pada tempat dimana warisan yang
bersangkutan jatuh meluang. (pasal 879) pengangkatan waris atau pemberian hibah
wasiat dengan lompat tangan, atau sebagai fidei-commis adalah terlarang.
Oleh karena itu, pun bagi si yang diangkat atau yang menerima mana
masing-masing mereka diwajibkan menyimpan barang-barang warisan atau hibahnya
untuk kemudian menyerahkannya baik seluruhnya maupun untuk sebagian kepada
orang ketiga.[16][10]
Batasan jumlah harta wasiat maksimal ½ harta jika pewasiat
mempunyai seorang anak yang sah, 1/3 apabila memiliki dua orang anak yang sah,
dan ¼ jika memiliki tiga orang anak yang sah termasuk dalam pengertian ini
adalah anak turun mereka sebagai pengganti anak dalam garis turun masing-masing
(pasal 914) dan maksimal ½ jika pewasiat hanya meninggalkan ahli waris garis
lurus ke atas, demikian juga terhadap anak luar kawin yang diakui telah sah
(pasal 915-916), kecuali tidak ada keluarga garis ke atas, pewasiatan tidak
dibatasi (pasal 917).
Apabila suatu pewasiatan melebihi dari bagian yang telah ditentukan
pada bagian di atas maka jumlah bagian tersebut harus dipotong sesuai dengan
apa yang seharusnya telah diatur sehingga jumlahnya tidak melebihi batas waktu
yang telah ditentukan (pasal 916a).[17][11]
6.
KUH Wasiat
Mesir
KUHWasiat Mesir
tentang wasiat wajibah no.71 tahun 1365 H dan tahun 1946 M dapat disimpulkan :
Wasiat wajibah
berlaku dengan sendirinya walaupun tidak diwasiatkan sebelumnya oleh pewasiat.Wasiat
wajibah dimaksudkan adalah kepada orang yang bukan ahli waris tetapi kepada
mereka yang karena tidak tergolong ahli waris seperti cucu laki-laki atau
perempuan pancar perempuan (anak-anak dari anak perempuan yang meninggal) atau
kepada cucu laki-laki atau perempuan pancar laki-laki (anak-anak dari anak
laki-laki pewaris yang meninggal), mereka terhijab karena adanya anak laki-laki
pewaris langsung (sdr.lelaki ayah mereka/cucu). Maka untuk mereka berhak
menerima wasiat wajibah tanpa harus adanya persetujuan ahli waris ataupun
pewaris sendiri sebelumnya ketika ia hidup.
Batas
maksimal wasiat wajibah adalah 1/3 dari harta peninggalan, apabila pewaris
sebelumnya telah mewasiatkan kepada mereka harta yang kurang 1/3 bagian, maka
secara yuris harus dicukupkan 1/3 harta dan apabila wasiat tersebut melebihi
dari batas maksimal 1/3 harta, selebihnya merupakan wasiat akhtiarah, dimana
adanya keharusan persetujuan ahli waris, apakah ahli waris menyetujuinya
berarti mereka akan mendapatkan kelebihan dari 1/3 harta dan sebaliknya jika
kelebihan tersebut tidak disetujui ahli waris maka kelebihan tersebut diambil
untuk dijadikan tambahan dari harta pewarisan bagi ahli waris.[18]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Wasiat
adalah pemberian secara penuh kesadaran akan haknya terhadap harta miliknya
yang akan diperoleh orang yang menerimanya setelah terjadinya kematian si
pemberi wasiat.
Pendapat
lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati
kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksanakan para
penerima wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan lain diluar harta
peninggalan.
Hukum wasiat berdasarkan kesepakatan ( ijma’) adalah sunnat
muakkad. Sementara Dasar hukum wasiat
dalam hukum kewarisan islam, yakni al-qur’an surah al-baqarah ayat 180 dan
surah Al-Maidah ayat 106.
2.
Para
ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak boleh memberikan
wasiat lebih dari 1/3 hartanya.
Hal
itu sesuai dengan Hadits Rasulullah saw, yang artinya :Bahwa suatu ketika
Rasulullah saw dating mengunjungi saya (sa’ad bin Abi Waqas) pada tahun haji
wada’. Kemudian saya bertanya kepada Rasulullah saw; wahai Rasulullah! Sakitku
telah demikian parah, sebagaimana engkau lihat, sedang saya ini orang yang
berada, tetapi tidak ada yang dapat mewarisi hartaku selain seorang anak
perempuan.
Bolehkah
aku bersedekah (berwasiat) dengan dua pertiga hartaku (untuk beramal) ?maka
berkatalah Rasulullah saw. Kepadaku : “jangan’’ kemudian Rasulullah berkata
pula, “sepertiga” dan sepertiga itu banyak dean besar. Sesungguhnya apabila
engkau meninggalkan ahli warismu sebagai orang-orang kaya adalah lebih baik
daripada meninggalkan mereka sebagai orang-orang miskin yang meminta-minta
kepada orang banyak. (HR.Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits diatas dapat
dipahami bahwa, untuk melindungi ahli waris supaya mereka tidak dalam keadaan
miskin setelah ditinggalkan pewaris, harta yang boleh diwasiatkan (jumlah
maksimal) tidak boleh melebihi dari sepertiga dari seluruh harta yang
ditinggalkan. Hal ini dalam hukum kewarisan
islam adalah untuk melindungi ahli waris. Adapun dalam KUHPerdata yang
ditekankan adalah jumlah minimal yag harus diterima oleh ahli waris, atau lazim
di sebut dengan bagian mutlak (legitieme portie)
B.
Saran
Penyusun makalah ini hanya mengandalkan
sedikit buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca
yang ingin mendalami masalah wasiat agar setelah membaca makalah ini, membaca
sumber-sumber lain yang lebih komplit.
DAFTAR
PUSTAKA
Burgerlijk
Wetboek ( Kitab Undang-Undang Hukum Perdata )
Lubis, Suhrawardi K dan Simanjuntak, Komis.Hukum waris islam.
Jakarta: Sinar Grafika, 2001
Lubis, Suhrawardi K dan Simanjuntak, Komis.Hukum Waris Islam. Edisi
ke-2; Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Muhibbin, Moh dan Wahid, Abdul.Hukum Kewarisan Islam.Jakarta: Sinar
Grafika, 2009
Sarmadi, Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997
Saebani, Beni
Ahmad.Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia, 2009
Shomad, Abd.
Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2010
http://annisaprincess7.co.id/2016/12/makalah-tentang-wasiat.html
[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqih
Mawaris ( Bandung: Pustaka Setia, 2009 ), h.343, Abd Shomad, Hukum Islam (
Jakarta: Kencana, 2010 ), h.357
[6]
Moh Muhibbin dan Abdul Wahis, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Sinar Grafika,
2009 ), h. 145
[7]
Moh Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h. 145
[8] [13] Suhrawardi K Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (
Jakarta: Sinar Grafika, 2001 ), h.44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar